Apa itu Gerd (Gastro-Esophageal Reflux)
Mengenal apa itu GERD (gastro-esophageal reflux disease) adalah penyakit yang disebabkan oleh refluks isi lambung atau duodenum bagian proksimal ke esofagus bagian bawah. Gejala utama yang timbul berupa rasa mulas, mual, dan nyeri dada bagian bawah.
Mengenal apa itu GERD merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang paling umum dan menggangu kualitas hidup jutaan orang di dunia. Mengenal apa itu GERD dikaitkan dengan usia tua, jenis kelamin laki-laki, merokok, konsumsi alkohol, dan hernia hiatus. Obesitas juga merupakan faktor risiko GERD yang signifikan.
Kebanyakan pasien yang mengalami gejala khas GERD hanya menjalani terapi empiris dengan proton pump inhibitor (PPI) dan tidak menjalani pemeriksaan diagnostik. Bila pada pasien timbul gejala serius (alarm signs) GERD seperti disfagia, odinofagia, anoreksia, penurunan berat badan dan perdarahan saluran cerna bagian atas, diperlukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas.
Pemeriksaan diagnostik lain seperti tes pH berbasis kateter, kapsul pH nirkabel, atau tes impedansi + pH dilakukan pada skenario klinis tertentu saat diperlukan tatalaksana lebih lanjut karena pasien tidak berespons dengan obat PPI. Pada dekade terakhir terjadi perubahan besar dalam tatalaksana GERD dan semakin banyak laporan tentang efek samping penggunaan PPI jangka panjang.
Ulasan berikut difokuskan pada manajemen GERD saat ini dan modalitas pembedahan di masa depan
DEFINISI
Gastroesophageal reflux didefinisikan sebagai kegagalan barrier anti-refluks sehingga isi gaster masuk ke esofagus. Gangguan mekanis ini disebabkan tidak sempurnanya lower esophagus sphincter, sehingga terjadi gangguan pengosongan lambung atau terjadi kegagalan peristalsis esofagus.
Abnormalitas ini menghasilkan gejala mulai dari “heart burn” hingga kerusakan jaringan esofagus sebagai komplikasinya. Gastroesophagael refux merupakan proses fisiologis yang normal, yang sering dirasakan oleh banyak orang secara berkala, terutama setelah makan.
Jika refluks yang terjadi melebihi batas normal, yaitu lebih dari dua kali perhari selama seminggu mukosa esofagus akan mengalami cedera sehingga meningkatkan resiko terjadinya Barret’s esopagus dan adenokarcinoma esofagus.
Patomekanisme GERD
Patomekanisme penyakit refluks gastroesofageal (GERD) sangat kompleks karena melibatkan pajanan refluks isi lambung, resistensi epitel esofagus, dan sensitivitas viseral. Refluksnya isi lambung akan melukai esofagus dan menimbulkan gejala GERD.
Pajanan esofagus terhadap refluks isi lambung ini yang menentukan tingkat keparahan penyakit. Refluks pada GERD terjadi karena lemahnya barrier anti-refluks. Lemahnya barrier anti-refluks ini tidak dapat menahan masuknya isi lambung ke esofagus bahkan dalam keadaan beban normal. Ditambah dengan kurangnya kemampuan esofagus untuk membersihkan (clearance) isi esofagus ke lambung terjadilah GERD. Hal lain yang memperburuk adalah rendahnya resistensi epitel dan peningkatan sensitivitas viseral.
- Mekanisme anti-reflux
Dalam keadaan normal terdapat barrier anti-refluks, yang merupakan zona anatomi kompleks yang terdiri dari; 1) sfingter esofagus bagian bawah (LES), 2) crus diafragma ekstrinsik, dan 3) ligamentum phrenoesophageal yang merupakan komponen kunci.
Disfungsi LES menjadi penyebab utama GERD. Kegagalan komponen LES tersebut akan menyebabkan peningkatan kontak cairan lambung yang masuk ke esofagus, sedangkan kegagalan komponen lainnya dapat dikompensasi melalui mekanisme clearance esofagus. Ketika komponen pelindung melemah dan efek perusak terus menerus terjadi, esofagus semakin banyak menerima pajanan abnormal isi lambung. Proses selanjutnya adalah pembersihan esofagus secara fisiologis.
- Esophageal clearence (bersihan esofagus)
Bagian kedua dari mekanisme antireflux adalah usaha pembersihan esophagus. Tidak efektifnya clearance esophagus menyebabkan lebih lamanya kontak isi lambung dengan permukaan esofagus walaupun pada penderita ini LES-nya normal.
Terdapat 4 faktor penting yang mempengaruhi clearance esofagus yaitu; 1) gaya gravitasi, 2) aktivitas motorik esofagus, 3) salivasi, dan 4) letak esofagus distal dalam abdomen. Salivasi berkontribusi pada clearance esofagus melalui proses netralisasi asam seiring gerak peristalsis.
Air liur mengandung bikarbonat yang berperan sebagai buffer asam dan juga mengandung growth factor seperti epidermal growth factor yang berfungsi dalam perbaikan dan pertahanan mukosa esofagus. Kurangnya saliva seperti selama tidur menyebabkan waktu pembersihan asam lebih lama. Kadar asam di esofagus lebih lama kembali menjadi netral apabila saliva kurang. Produksi saliva kemudian akan meningkat dengan adanya asam di esofagus bagian bawah. Pada keadaan ini pasien merasakan adanya mukus yang berlebihan di dalam kerongkongan dan keadaan ini secara klinis dikenal sebagai water brush.
- Gastric Reservoir
Lambung dapat berisi asam lambung, empedu, dan enzim-enzim pencernaan yang bersifat kaustik dan dapat melukai sebagian besar lapisan epitel kecuali jika ada tindakan perlindungan yang tepat untuk menyangga asam dan melindungi mukosa dari peradangan dan efek merusak lainnya. Semua komponen cairan saluran cerna dapat melukai dan mengiritasi esofagus, namun asam adalah penyebab utama esofagitis.
Selain asam, komponen lain dari seperti empedu, enzim pencernaan, mikroba patogen, dan faktor berbahaya lainnya juga dapat merusak esofagus. Asam empedu dapat mengganggu integritas barier mukosa dengan mengganggu fungsi sel dan merusak struktur membran. Empedu disekresikan ke usus halus bagian proksimal. Tidak normalnya pola sekretori dan dismotilitas antro-duodenum dapat meningkatkan jumlah empedu di lambung. Pajanan cairan empedu terkonjungasi ke esofagus yang dicampur dengan asam lambung akan memperburuk tingkat esofagitis.
Tingkat keasaman cairan refluks akan memperparah esofagitis erosiva, paparan asam ditambah empedu berisiko menimbulkan Barrett’s esophagus. Meskipun asam empedu dan pepsin merupakan unsur penting yang berbahaya dalam cairan refluks lambung, tidak ada pengobatan yang menargetkan komponen ini. Perawatan difokuskan pada penekanan asam dan prosedur anti-refluks. Terlepas dari itu masih ada komponen lain dari patomekanisme refluks untuk menimbulkan GERD. Sekresi abnormal asam abnormal saja tanpa disertai faktor lain, tidak akan menyebabkan GERD. Distribusi dan volume cairan lambung di dalam lambung juga berperan dalam patomekanisme GERD. Meskipun banyak pasien GERD mengalami pengosongan lambung yang abnormal, namun sulit untuk membuktikan bahwa hal ini menyebabkan GERD.
- Hiatal Hernia
Hernia hiatus merupakan salah satu faktor risiko penyebab GERD karena terjadi gangguan anatomi dan fisiologi barrier anti-refluks yang normal melalui beberapa mekanisme; (1) penurunan tekanan sfingter esofagus bagian bawah (LES); (2) peningkatan frekuensi relaksasi LES transien (TLESR); dan (3) gangguan clearance esofagus.
- Pengaruh obesitas
Obesitas tidak dapat diabaikan dalam diskusi yang berfokus pada patomekanisme GERD. Pergerakan cairan lambung dari lambung ke esofagus ditentukan oleh gradien tekanan antara abdomen dan toraks. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tekanan intragastrik lebih tinggi pada pasien obesitas, dan tekanan tersebut berbanding lurus dengan indeks massa tubuh dan lingkar pinggang.
Peningkatan tekanan intra-abdomen dapat menganggu barrier anti-refluks dan obesitas dikaitkan dengan meningkatnya risiko hernia hiatal. Faktor-faktor ini menunjang terjadinya GERD yang parah. Menariknya, penurunan berat badan dalam jumlah kecil (sekitar 10–15 pounds) sudah dapat mengurangi gejala GERD.
Gejala Klinis GERD
Gejala dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu:
1. Gejala yang berhubungan langsung dengan episode reflux:
- Heart Burn
Heart burn merupakan gejala klasik pada GERD. Gejala ini ditandai dengan rasa terbakar yang dirasakan menjalar keatas mulai dari gaster keatas atau mulai dari dada bagian bawah sampai ke leher. Biasanya diprovokasi dengan makanan terutama makanan yang banyak mengandung lemak, atau makanan yang pedas dan posisi badan biasanya saat berbaring atau berdiri, dan berkurang atau sembuh dengan pemberian antasida.
- Regurgitasi
Regurgitasi makanan biasanya dapat dirasakan dan tertelan kembali tetapi biasanya dalam jumlah besar sehingga pasien muntah. Beberapa pasien mengeluhkan regurgitasi sebagai gejala utama GERD.
- Water Brush
Asidifikasi esophagus yang terjadi secara tiba-tiba akan menstimulasi secara cepat produksi salivasi sehingga mulut pasien terasa penuh dengan saliva.
- Gejala lain yang atipikal
GERD dapat menyebabkan beberapa gejala yang tidak mudah diidentifikasi sebagai akibat reflux seperti angina-like chest pain, dispepsia, dan mual.
2. Gejala yang disebabkan karena komplikasi reflux
- Gejala saluran napas
GERD dapat menyebabkan gangguan saluran napas maupun laring seperti asma, batuk kronis, laryngitis, dan sinusitis. Batuk, suara serak, dan mengi kadang dapat terjadi bersamaan.
- Disfagia
Walaupun bervariasi, disfagia sering dikeluhkan dan disebabkan karena defek peristalsis esofagus atau sensitifitas esofagus yang meningkat. Disfagia berhubungan dengan gejala impaksi bolus yang disebabkan oleh striktur.
- Odinofagi
Nyeri saat menelan merupakan gejala utama pada pasien yang mukosa esofagusnya hipersensitif, dan biasanya terjadi esofagitis yang berat.
- Perdarahan akibat esofagitis
hematemesis dapat terjadi biasanya pada kasus-kasus yang sudah sangat berat. Pada keadaan seperti ini dapat terjadi anemia defisiensi besi.
Komplikasi Dari GERD
Reflux berulang isi gaster ke esofagus, paru-paru, orofaring, kerusakan mukosa esofagus dan epitel saluran napas mengakibatkan cedera yang diikuti proses penyembuhan, fibrosis, dan re-injury. Manifestasi GERD dapat diklasifikasikan sebagai esophageal dan ekstraesophageal.
- Manifestasi esophageal GERD antara lain heart burn, chest pain, water brush, dan disfagia. Disfagia sendiri biasanya merupakan keluhan yang berhubungan dengan komplikasi GER seperti esofagitis, ulserasi, striktur dan terjadinya perubahan pada epitel esophagus (metaplasia) pada Barrett’s esophagus.
- Manifestasi ekstraesophageal GERD paling sering yaitu aspirasi ke paru, atau terjadi reflex vagal yang menyebabkan bronchospasm saat cairan reflux menstimulasi esofagus distal. Manifestasi ekstraesofageal lain termasuk batuk kronis, laryngitis, kerusakan gigi, maupun sinusitis kronis.
Prevalensi terjadinya komplikasi pada GERD secara signifikan lebih tinggi bila terjadi refluks asam dan basa dibandingkan bila hanya reflux asam saja. Pada pasien yang mengalami refluks asam saja, biasanya tidak terjadi komplikasi jika mekanisme sfingternya normal. Sebaliknya komplikasi sering terjadi bila terjadi defek sfingter. Sfingter esophagus bawah (LES) yang normal disertai reflux asam biasanya lebih sering timbul menjadi esofagitis tanpa komplikasi, sedangkan pada pasien yang memiliki defek sfingter disertai refluks asam dan basa (alkali), kemungkinan timbulnya Barrett’s esophagus lebih besar.
Reflux bile dan enzim pankreas ke dalam lambung dapat melindungi cedera pada mukosa esofagus. Refluks bile dan enzim pancreas ke dalam lambung dapat melindungi cedera pada mukosa esofagus. Lebih jauh lagi, refluks isi duodenum ke dalam lambung dapat mencegah terjadinya peptic esophagitis pada pasien dimana sekresi bahan asam lambung dipertahankan dalam nilai tertentu sehingga lingkungan disekitar gaster menjadi asam karena garam empedu dapat melemahkan efek cedera akibat pepsin dan asam dengan menginaktivasi trypsin.
Pada beberapa pasien yang cairan lambungnya mengandung empedu, saat terjadi reflux akan terjadi iritasi mukosa esofagus tetapi terjadinya esofagitis lebih kecil bila dibandingkan dengan asam lambung yang mengandung pepsin. Abnormalitas pada mukosa barrier karena asam atau empedu berlawanan dengan esofagitis yang disebabkan karena pepsin dan tripsin. Hal inilah yang menjelaskan korelasi jelek antara gejala heart burn dengan endoscopic esophagitis.
Reflux asam lambung yang berkontaminasi dengan isi duodenum dapat merusak barrier mukosa esofagus, mengiritasi nervus yang terdapat pada papilla pada permukaan lumen dan menyebabkan severe heart burn. Meskipun terjadi heart burn, garam empedu yang ada akan menginhibisi pepsin dan pH yang asam akan menginaktivasi tripsin dan pasien tidak akan terlihat esofagitisnya.
Pada pasien yang mengalmai refluks alkaline gastric apabila dilakukan pemeriksaan endoskopi akan terlihat esofagitis tetapi memiliki gejala heart burn yang minimal karena tidak adanya ion hydrogen yang reflux dan garam empedu berpotensi mengaktivasi tripsin pada mukosa esophagus.
Faktor Resiko GERD
GERD memiliki perkiraan prevalensi di seluruh dunia sebesar 8-33%, di Australia sekitar 15%-20%, di Indonesia 5,7 % menjadi 25,18% dari tahun 1997-2002 dengan rata-rata kasus per tahun 13.13%, melibatkan semua kelompok umur dan kedua jenis kelamin. Laki-laki kulit putih lebih memiliki resiko tunggi untuk terjadinya Barrett’s esophagus dan adenokarcinoma dibandingkan dengan populasi lain.
Frekuensi GERD juga meningkat pada populasi obese ( BMI>30), pengkonsumsi alkohol (>7x minum/minggu), dan pada pasien tirah baring lama. Kira-kira 50% pasien GERD mengalami esofagitis. Esofagitis dapat dibagi menjadi 4 tingkat berdasarkan beratnya penyakit, yaitu :
- Grade 1: eritema
- Grade 2: erosi linear nonconfluent
- Grade 3: erosi circular confluent
- Grade 4 : striktur atau Barrett’s esophagus ( 8-15% pasien GERD dan dapat berkembang menjadi adenokarcinoma secara progresif).
Rasio terjadinya esofagitis untuk laki-laki dibandingkan wanita adalah 2:1 sampai 3:1, sedangkan terjadinya Barrett’s esophagus laki-laki dibandingkan wanita adalah 10:1. GERD timbul pada setiap usia, tetapi prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun.
Di Amerika Serikat dan negara barat, gejala yang dirasakan paling utama adalah heart burn. Kira-kira 7% populasi mengalami heart burn setiap hari dan menghabiskan biaya kesehatan 9-10 miliar dollar pertahun di AS saja, sebagian besar terkait dengan penggunaan PPI dan diagnostik.
Paradigma diagnosis GERD saat ini bergantung pada identifikasi lesi mukosa esophagus atau gejala yang mengganggu yang disebabkan oleh refluks gastroesofagus. Penentu utama cedera mukosa adalah pajanan asam esofagus yang berlebihan yang disebabkan oleh cacat anatomis atau fisiologis dari esofagogastrik Junction(EGJ) dan peristaltik esofagus.
Diagnosis GERD
Strategi diagnosis GERD yaitu menentukan derajat dari esofagitis, ada tidaknya mukosa Bareett’s, dan membuktikan bahwa gejala disebabkan karena GER. Banyak metode digunakan untuk mengevaluasi sliding hernia dan esofagitis refluks yaitu pemeriksaan barium enema, upper Gl endoscopy, manometri esofagus, monitoring pH selama 24 jam, skintigrafi, serta tes PPI.
Barium enema dapat membuktikan adanya sliding hernia dan GER tetapi tidak dapat digunakan untuk menilai esofagitis kecuali yang stadium lanjut.
Upper GI Endoscopy merupakan yang terbaik untuk menentukan esofagitis, Barrett’s mukosa dan mengevaluasi beratnya esofagitis. Biopsi multipel dapat dilakukan saat endoskopi. Endoskopi tidak dilakukan pada semua penderita yang disangka GERD. Pasien yang memiliki gejala ringan dan tidak ada gejala alarm seperti yang telah dijelaskan sebelumnya boleh diberikan terapi trial tanpa endoskopi terlebih dahulu. Endoskopi dilakukan; (1) diagnosis tidak jelas karena gejala yang tidak spesifik atau atypical reflux disease yang bercampur dengan gejala duodenal seperti nyeri epigastrik, (2) gejala menetap atau memburuk pascaterapi PPI, (3) gejala yang berat atau komplikasi esofagitis
Endoskopi merupakan pilihan pertama karena :
- merupakan tes yang sensitif untuk suatu reflux esofagitis
- memberikan diagnosis yang lebih akurat untuk lesi mukosa seperti infective esophagitis, peptic ulcer, malignansi, ataupun kelainan upper GI tract yang sulit dibedakan dari anamnesis reflux disease.
- merupakan cara yang paling efektif untuk menentukan derajat esofagitis yang penting untuk terapi dan manajemen dari reflux disease.
- satu-satunya metode yang sensitif untuk mendiagnosis Barrett’s esophagus
- berguna untuk pengetahuan dan managemen peptic stricture
Tatalaksana GERD
Tujuan terapi GERD adalah mengurangi gejala dan memperbaiki kualitas hidup, menyembuhkan esofagitis, mengurangi resiko komplikasi, melalui cara; 1) modifikasi gaya hidup, 2) terapi medikamentosa untuk mengontrol gejala, 3) endoskopi (poin 3 ini tidak di bicarakan khus dalam tulisan ini) dan 4) mengetahui pasien yang hanya dapat diterapi secara bedah.
Modifikasi Gaya Hidup dan Perubahan Pola Makan
Modifikasi gaya hidup tetap menjadi landasan intervensi terapeutik GERD, yang umumnya diabaikan oleh dokter dan tidak diikuti oleh pasien. Obesitas telah terbukti sebagai faktor risiko penting perkembangan atau memburuknya GERD.
Untuk itu dalam modifikasi gaya hidup yang meliputi keadaan ini adalah penurunan berat badan, hindari makan banyak lemak atau yang berlebihan, hindari makanan berkalori terlalu tinggi, berhenti merokok, coklat, minuman berkarbonasi, bawang bombay, saus tomat, mint, alkohol, jus jeruk, dan makanan pedas. Semua hal ini memperburuk gejala GERD walaupun belum ada yang melakukan penelitian berkualitas tinggi mengenai pentingnya menghindari hal ini.
Hindari posisi tubuh berbaring selama 2 sampai 3 jam setelah makan, hindari aktivitas yang meliputi membungkukan badan setelah makan, lakukan olahraga yang tidak meningkatkan tekanan intra-abdomen, dan menghindari pemakaian pakaian yang terlalu ketat. Pada pasein yang harus berbaring lama, sebaiknya dilakukan elevasi kepala 20-30 derajat.
Hindari juga obat-obatan yang mengandung efek antikolinergik, teofilin, obat-obatan dopaminergic, calcium chanel bloker. Aspirin dan anti-inflamatori nonsteroid juga memperburuk esofagitis.
Terapi Medikamentosa
Antasida merupakan standard terapi sejak tahun 1970 dan sampai sekarang masih tetap efektif untuk mengontrol gejala ringan GERD. Antasida diberikan setelah makan atau saat sebelum tidur.
Proton pump inhibitor dapat diberikan sebagai terapi inisial GERD. Antagonis reseptor-H2 juga merupakan obat first line untuk GERD bergejala ringan sampai menengah dan pada esofagitis grade 1 dan 2. Antagonis reseptor-H2 efektif untuk menyembuhkan esofagitis ringan pada 70-80% kasus dan dapat digunakan sebagai terapi maintenance untuk mencegah relaps.
Obat prokinetik meningkatkan motilitas esofagus dan lambung, efektif untuk digunakan pada paseien bergejala ringan. Penggunaan obat ini tidak boleh diberikan dalam jangka waktu lama.
Pada terapi medikamentosa terdapat 2 macam cara pemberian obat yaitu:
- terapi inisial mempunyai 4 tujuan yaitu untuk mengkonfirmasi diagnosis GERD, dengan melihat respons baik terhadap terapi, mengurangi gejala reflux, menenangkan kondisi pasien secara psikologis, dan menghilangkan esofagitis. Pilihan terapi inisial yaitu diberikan PPI selama dosis 1 kali sehari selama 4 minggu sebenarnya cukup selama 2 minggu tetapi hal ini masih diteliti.
- Maintenance terapi memiliki 3 tujuan utama yaitu untuk mengontrol gejala secara adekuat, mencegah terjadinya komplikasi, dan meminimalisasi biaya perawatan jangka panjang. Dalam hal ini dapat diberikan dosis titrasi.
Secara keseluruhan tips tatalaksana medikamentosa GERD yaitu:
- Menganjurkan perubahan gaya hidup
- Penggunaan H2 bloker sebagai terapi inisial pasien GERD bergejala ringan, paing baik diberikan setelah makan dan sebelum tidur.
- PPI merupakan medikasi antireflux yang paling poten dan merupakan pilihan utama pada erosive reflux dan adanya gejala extraesophageal reflux. Obat PPI diberikan sebelum makan pagi dan sebelum makan malam, sebaiknya secara continous selama 6-24 bulan.
- Penambahan H2 bloker pada PPI membantu mengontrol asam yang terjadi saat malam hari yang sering terjadi pada beberapa pasien.
- Belum dapat dibuktikan bahwa dosis yang terendah merupakan dosis yang paling efektif pada penggunaan untuk periode yang lama (tahunan) atau saat terjadinya rekurensi (3-6 bulan)
- Secara berkelanjutan sebaiknya sebaiknya dipakai dengan dosis yang tinggi untuk mengontrol gejala.
- Lakukan evaluasi dan re-evaluasi bilamana diperlukan selama terapi jangka panjang GERD. Terapi bedah anti-reflux sudah harus dipertimbangkan.
Terapi Bedah
Indikasi terapi bedah untk GERD adalah:
- Tidak berespons terhadap terapi medikamenotsa.
- Severe endoscopic esofagitis
- Barrett’s esophagus
- Hiatal Hernia
- Obese
Pada keadaadan tersebut diatas bahwa terapi bedah anti-reflux sudah harus dipertimbangkan
Macam macam Laparoscopi
- Laparoscopi fundoplikasi Nissen merupakan prosedur antireflux yang paling sering dilakukan. Sekitar 92% pasien mengalami resolusi gejala setelah dilakukan laparoskopi fundoplikasi.
- Laparoskopi gastric sleeve + reduksi hiatal hernia : Pada pasien obesitas (akan di bahas tersendiri)
Laparoskopi reduksi hiatal hernia dan Fundoplikasi Nissen
Hiatus hernia adalah kondisi masuknya bagian atas lambung ke rongga toraks. Lambung yang seharusnya berada di rongga perut, menonjol ke atas melalui celah di otot diafragma yang memisahkan rongga dada dengan rongga perut.
Pada kondisi yang lebih serius, diperlukan operasi untuk mengatasi hernia hiatal. Prosedur ini dilakukan untuk mengembalikan lambung ke rongga perut dan memperkecil celah diafragma. Operasi dapat dilakukan dengan operasi terbuka atau dengan teknik laparoskopi.
Katup/sfingter esofagus bawah yang berfungsi sebagai pemisah lambung dengan esofagus di toraks mengalmi kelemahan. Fundoplikasi berfungsi memperkuat katup tersebut sehingga mencegah makanan dan asam naik kembali
Fundoplikasi dilakukan dengan membungkus lekukan bagian atas gaster (fundus) ke sekitar esofagus, sehingga bagian bawah esofagus menjadi melewati terowongan kecil yang terbentuk dari dinding otot gaster. Bila mekanisme otot sfingter esofagus bawah kuat, asam lambung tidak mudah naik ke esofagus sehingga gejala refluks asam lambung lebih terkontrol.
- Jenis Fundoplikasi
Fundoplikasi dibagi menjadi 3 jenis yaitu:
- Nissen 360-degree wrap
Bagian atas lambung (fundus) membungkus keliling esofagus untuk mengencangkan sfingter. Tindakan ini mencegah pasien dari regurgitasi.
- Toupet 270-degree posterior wrap
Fundus membungkus dua pertiga dari esofagus bawah pasien. Tindakan ini menciptakan semacam katup yang memungkinkan pasien melepaskan gas dengan lebih mudah melalui sendawa atau muntah saat diperlukan.
- Watson anterior 180-degree wrap
Esofagus di sebelah diafragma direkonstruksi. Kemudian fundus membungkus setengah anterior esofagus setengah di area depan dari bagian bawah kerongkongan dan melekat pada bagian dari jaringan diafragma.
Setiap prosedur dapat dilakukan secara laparoskopik. Dokter akan membuat beberapa sayatan kecil dan memasukkan instrumen bedah serta kamera dan cahaya di ujungnya untuk mengerjakan operasi. Dengan laparoskopi, waktu pemulihan pasien lebih cepat dan bekas luka lebih kecil dibanding prosedur terbuka.
- Prosedur Reduksi Hiatal Hernia dan Fundoplikasi
Prosedur fundoplikasi dilakukan dengan teknik bedah laparoskopi atau insisi pada rongga dada pada pasien yang obesitas atau memiliki esofagus pendek. Operasi akan dilakukan sesuai dengan jenis operasi dan kondisi pasien.
- Persiapan Sebelum Operasi
Apa yang harus dipersiapkan sebelum operasi GERD? Berikut aturan umumnya:
- Tetap mengonsumsi obat yang diresepkan selama 24 jam terakhir sebelum operasi.
- Tidak boleh minum obat lain yang tidak diperintahkan, termasuk obat anti-inflamasi ibuprofen dan parasetamol.
- Anda hanya boleh konsumsi cairan bening dalam 1-2 hari sebelum operasi.
- Anda harus minta pendampingan orang terdekat Anda untuk menemani Anda sebelum dan sesudah operasi untuk dukungan mental.
- Konsultasi pada dokter apakah Anda tetap boleh konsumsi vitamin, suplemen, obat herbal, atau jenis makanan tertentu sebelum operasi.
Dokter akan memberitahu Anda semua aturan sebelum operasi. Mohon ikuti semua instruksi dokter.
- Prosedur Selama Operasi
Berikut ini prosedur fundoplikasi dengan operasi laparoskopi:
- Anda akan diberi obat bius jadi Anda akan tidur selama anestesi.
- Dokter akan membuat sayatan pada kulit dan peritoneum (dinding abdomen).
- Kamera dan lampu khusus dimasukkan ke dalam sayatan tersebut.
- Fundus (bagian atas lambung) akan dibuat merangkul esofagus bagian bawah.
- Kemudian dokter akan menjahit fundus tersebut dengan esofagus.
- Dokter akan mengeluarkan semua gas di rongga perut.
- Operasi selesai dan dokter akan menutup luka dengan benang jahit yang akan hancur dengan sendirinya.
Dengan metode laparoskopi (prosedur bedah untuk memeriksa organ dalam perut), Anda akan dirawat inap selama 2-3 hari. Kebanyakan pasien sudah bisa beraktivitas normal 2-3 minggu pasca-operasi.
- Perawatan Setelah Operasi
Operasi laparoskopi memiliki waktu pemulihan lebih cepat daripada operasi terbuka. Operasi terbuka membutuhkan waktu pemulihan hingga 4-6 minggu. Berikut ini pemulihan operasi fundoplikasi secara umum:
- Anda akan kembali ke rumah sekitar 36-48 jam setelah operasi.
- Dokter mungkin akan meminta Anda untuk check-up ke rumah sakit 1 minggu setelah operasi terbuka.
- Bekas sayatan akan dibalut dengan perekat atau perban bedah khusus dan melepasnya 2-7 hari setelah operasi.
- Dokter akan memberi saran makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh Anda makan selama beberapa minggu.
- Dalam kondisi tertentu, Anda mungkin harus makan melalui selang khusus.
- Anda tidak boleh mandi hingga perekat atau perban dilepas.
- Bersihkan bekas sayatan dengan air hangat.
Konsultasikan dengan dokter semua instruksi yang harus Anda lakukan pascaoperasi. Anda juga harus mengamati bila ada gejala, efek samping, atau keluhan lain yang mungkin Anda rasakan pasca operasi.
Komplikasi Operasi
Fundoplikasi merupakan tindakan medis yang cenderung aman dilakukan. Namun, seperti prosedur medis pada umumnya, fundoplikasi tetap memiliki komplikasi yang mungkin terjadi, antara lain yaitu :